Minggu, 10 Agustus 2014

Tugu dan Musholla

Duduk di teras rumah amat menyenangkan. Menyenangkan ditemani oleh suara merdu Syaikh Sudays melantunkan surat Asy-Syura yang entah sudah berapa puluh kali diulang sejak semalam (berharap dapat otomatis termurojaah). Menyenangkan dapat dapat langsung memandang tugu Darussalam yang berdiri kokoh entah sudah berapa puluh tahun lamanya. Memandang mushola yang juga letaknya tepat di depan rumah, mushola yang sudah jauh lebih bagus dan lebih luas daripada belasan tahun yang lalu.
Padahal sudah setahun, tapi bayang-bayang nostalgia selalu saja hadir ketika melihat dua bangunan itu.

Tugu Darussalam yang sebenarnya selalu dilihat, ketika membuka dan menutup jendela kamar, ketika hendak ke kamar mandi, dan yang paling jelas adalah ketika duduk di teras rumah.
Melihat tugu Darussalam, saya juga melihat anak-anak kecil menaiki sepeda mereka, berlomba untuk lebih dulu sampai ke pagar tugu. Kemudian berlarian dan berusaha menaiki undakan-undakan tugu atau  merangkak di belakang tiang-tiang kecilnya.
Ada goresan yang terus membekas di sisi depan tugu, goresan Presiden pertama Indonesia "Tekad bulat melahirkan perbuatan jang njata. Darussalam menudju kepada pelaksanaan tjita2" 2/9 '59 Soekarno.
Terus membekas karena saat itu  seorang anak perempuan kecil tidaklah cukup mengerti makna di balik ukiran sejarah itu.
Terkadang mereka memandang ke ujung atas tugu, berpikir keras, bagaimana caranya agar mereka bisa memanjat sampai ke atas sana. Pikiran yang bahkan belasan tahun kemudian, tak jua menemukan jalan keluarnya.
Setelah lelah memanjat undakan tugu, dan duduk sejenak melepas lelah, kaki-kaki kecil itu kembali menapak, berlarian mengelilingi tugu, kemudian kembali mengambil sepeda kecil mereka dan mengayuh sekuat tenaga agar menjadi yang terdepan.
Satu lagi, Mushola Fathun Mubin namanya (entah Fathun Mubin atau Fathun Qorib, tapi sepertinya Fathun Mubin, deh), namun di halaman mushola sama sekali tidak terdapat papan pengenal untuk mengetahui nama mushola tersebut. Dulunya mushola Fathun Mubin belum semegah sekarang. Hanya mushola kecil dengan pagar yang miring-miring. Interiornya pun tidak terlalu bagus untuk dinikmati, pintunya sudah tua, langit-langit nya bolong-bolong, kipas anginnya reot, lantainya hanya berupa semen, di sudut ruangan akan ditemukan beberapa sarang laba-laba.
Namun mushola yang tua tidak mematahkan semangat kami untuk sholat berjamaah di masjid. Karena letak mushola yang pas di depan rumah, maka setiap waktu sholat ummi akan cerewet menyuruh kami sholat di mushola. Dan dengan mebawa mukena atau pun sarung yang belum diikat sempurna, kami berlarian sholat ke mushola. Semua sholat di mushola. Kakek, abi, saya dan kedua adik saya. Hanya ummi dan nenek yang sholat di rumah. Begitulah kami dibiasakan untuk sholat berjamaah, kebiasaan yang insyaAllah melekat sampai sekarang.
Mengaji-pun sempat kami lakukan di mushola tua itu sebelum akhirnya kami mengaji di Lembaga Tahfidz Markaz Dakwah. Walaupun tidak ada TPA di sana, abi dan ummi memanggil guru mengaji untuk mengajari kami tiap sore.
Begitulah lapangan tugu  Darussalam dan mushola Fathun Mubin mewarnai hari-hari ketika tangan-tangan kecil kami dengan lincah menangkap belalang. Memandangnya selalu mengundang nostalgia.

Kota Pelajar Mahasiswa (kopelma) Darusslam,
10 agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar